Tiong-tsiah, si Gampang Lapar, begitu Papa memanggil Gongka. Tapi, kalau punya ayah yang jago masak apa saja, mulai bihun bebek, dadar tiram, bakcang, mi teh, kari daging, sampai kue-kue yang ketika digoreng menguarkan aroma manis yang memenuhi rumah, kau pasti akan gampang lapar juga seperti Gongka. Belum lagi jika Mama membuat sayur asem sedap dengan potongan ikan asin jambal roti. Surga sudah. Tak hanya itu, penjual makanan enak setiap hari berkeliling di gang tempat tinggal Gongka.
Permainan Gongka dan teman-temannya seru dan menyenangkan, seperti lompat tali, masak-masakan, taplak gunung, ataupun petak umpet walaupun kadang saat sial bisa menginjak tahi ayam.
Frisca Saputra mengenang masa kecilnya di kawasan Pecinan Jakarta yang penuh warna dalam Gongka, karya pertama seri Cerita Istimewa baNANA.
Kalau kamu suka Na Willa, pasti kamu juga akan sayang pada Gongka. 'Gongka' menceritakan masa kecil penulis hidup di Pecinan Jakarta sebagai anak dari tukang kue. Isinya terdiri dari tulisan-tulisan pendek yang tidak harus dibaca secara berurutan, namun semuanya menimbulkan rasa hangat dan kebanyakan menerbitkan air liur. Penulis mendeskripsikan berbagai makanan dengan cara yang entah begitu menggiurkan sehingga membacanya membuat saya kerap mencari kudapan tengah malam 😂 Berbagai jajanan pasar hingga menu tradisi keluarga diceritakan dengan seru dan menyenangkan.
Walaupun demikian ada cerita-cerita yang mengharukan juga mengenalkan kita pada nilai-nilai dan budaya Tiong Hoa yang tercermin dalam kehidupan sehari-hari.
Saya sih suka sekali dan berharap ada lebih banyak banyak 'teman' Na Willa ❤️
Bagus. Tetapi benar-benar seperti mendengar penulis mendongeng di depan kita, nyantai sekali dan lompat sana lompat sini. Gongka beneran masih kecil dan menggemaskan, tapi yang paling seru yaaaa sebab semua membicarakan makanan.
Andai Frisca menulis lebih panjang dan padu, sebagaimana "memoar" atau novel akan lebih menarik. Sebab ini potensial menjadi cerita yang cakep banget.
Setelah membaca Red Dragon yang berat dan brutal, rasanya pas milih Gongka sebagai bacaan berikutnya.. Gongka ini bacaan ringan, lucu dan gemas, semacam biografi atau memoir sang penulis juga, sehari selesai, menghibur sekali hanya kurang "dalam" 🤭🤭🤭
Ketika tahu Frisca Saputra akan menerbitkan buku seputar kehidupan di Pecinan, aku langsung tidak sabar untuk membacanya. “Gongka” cerita-cerita dari Pecinan Jakarta dibuat saat penulis mengikuti kelas penulisan yang diampu oleh Reda Gaudiamo. Buku ini akan dirilis saat Patjarmerah Kecil di Jakarta. Saat ada pengumuman buku ini bisa dipesan terbatas. Aku tidak pakai lama untuk segera pergi ke lokapasar dan membelinya bersama buku ide cerita mbak Reda. Seperti apa keseruan buku ini? Mari ikuti tulisan ini.
Mari kita lihat sampulnya lebih dulu. Terbitan baNANA ini covernya lucu dan menggemaskan. Ada anak kecil yang ceria (Si Gongka, nih!) yang sedang berada di sebuah jalan dengan tiang listrik berkabel kusut. Judul Gongka – Cerita-cerita dari Pecinan Jakarta berada di tengah kanan dengan warna hitam berbentuk gemas. Ada nama penulis Frisca Saputra dan diikuti nama ilustrator isi buku ini Lina Kusuma Dewi. Ilustrasi di dalamnya jempolan!
Secara umum isi buku ini apa sih? Di Gongka, kita diajak sama Cik Frisca untuk menengok masa kecilnya di daerah Pecinan. Berisi kumpulan tulisan pendek yang bisa kamu baca sekali duduk. Aku cuplik beberapa judul tulisannya supaya bikin penasaran: Senio, Imlek, Pengukiran Lima, Gloria dan Kenangan Tiada Dua. Dimulai dari perkenalan anggota keluarganya, lalu ada Pak Udin yang ngebantu usaha kue di rumah, berlanjut keseharian dan pengalaman penulis berinteraksi dengan tetangga sekitar. Seru deh pokoknya! Ternyata ini adalah bagian dari Cerita Istimewa dari penerbit baNANA. Cerita personal mengenalkan pengalaman seseorang di tempat ia tinggal.
Apa yang aku sukai dari buku ini? Semuanya. Dari ceritanya sampai ilustrasi di dalamnya yang lucu. Aku suka dengan pengalaman yang dibagikan penulis akan kesehariannya. Aku jadi tahu bagaimana rasanya tinggal di Pecinan. Aku jadi ngerti dikit suasana di keluarga Cina Jakarta. Mama yang selalu sibuk. Rame-rame bikin kue. Rumah yang dihuni banyaaak orang dan segala perlengkapan masaknya. Mengunjungi pusat perbelanjaan. Naik becak. Makanan-makanannya yang bikin penasaran (Ada resepnya juga loh!). Papa yang dengan rasa sayangnya, memanggil “Gongka”.. Duh, rasanya kurang tebel cerita bukunya.. Tapi tidak apa lah. Gongka sudah berbagi ceritanya, aku udah bahagia.
Gongka, aku rekomendasikan untuk pembaca yang menyenangi nonfiksi naratif. Penyuka cerita personal pasti suka dengan buku ini. Semua orang yang membaca review ini.
Buku yang ringan dan sangat menyenangkan buat dibaca. Tentang masa kecil Penulis (mungkin di era 70-80an?) dengan nama kecil Gongka yang dulu tinggal di daerah Pengukiran, Jakarta Barat. Ayah dan Ibunya lahir di Fujian, Cina, dan sejak kecil sudah pindah ke Indonesia. Gongka tinggal dengan Papa dan Mamanya serta 5 saudara kandungnya.
Papa Gongka adalah seorang tukang kue dan jago memasak. Penulis banyak menceritakan bermacam masakan yang pernah dibuat Papanya yang sangat berkesan untuknya. Tulisannya mampu menerbitkan air liur pembaca karena amat menggiurkan penggambarannya. Sepanjang empat puluh lebih cerita pendek di dalamnya, Penulis banyak menceritakan tentang sosok Papa yang membuat hati terharu. Rasanya ingin bisa bertemu Papa langsung dan belajar memasak dari Beliau. Sosok Papa yang menjadi sosok paling dikagumi anak perempuannya, bukan karena ia sempurna, tapi karena kesederhanaan dan pengorbanannnya yang begitu bernilai pada keluarganya. Cerita-cerita Gongka mengingatkan saya pada buku Na Willa karya Reda Gaudiamo. Cerita Gongka mungkin terasa dekat untuk pembaca yang merasakan masa kecil di ekonomi keluarga menengah-menengah ke bawah era 80-90an, apalagi yang memang warga keturunan Cina.
Ada dua bagian menarik di dalam buku ini:
“Aku pernah tanya soal seragam kesayangannya itu. Papa bilang, dia itu seperti musafir. Asal ada makanan dan pakaian, cukup. Melewati hari satu demi satu. Kesusahan hari ini cukup buat hari ini.” - Hal. 92
“Aku paling suka aksara ren, yang artinya "tahan atau sabar". Terdiri atas dua huruf, yaitu bagian atas berarti "pisau" dan bagian bawah berarti "jantung".
Waktu mendengar penjelasan Papa, aku spontan bertanya, "Jadi harus tetap sabar walau ada pisau tajam di depan jantung kita, Pa?" Papa cuma mengangguk sambil tertawa kecil, "Dasar Gongka."
Penjelasan Papa tentang aksara ren sangat membekas. Sejak itu, kalau sedang sedih, aku akan mengingat-ingat cerita itu lantas bertanya-tanya sendiri. Apakah rasa susahmi terasa seperti pisau yang mengancam di depan jantung?
Kalau belum separah itu, tahan dan bersabarlah.” - Hal. 133-134.
Membaca Gongka, seperti halnya membaca Na Willa. Gadis kecil berkuncir dua, keturunan Tionghoa, yang tinggal di gang. Cerita masa kecil Gongka mengingatkanku pada masa kanak-kanakku dulu.
Apakah aku punya kisah seistimewa Gongka dan Na Willa?
Rasanya Gongka dan Na Willa bisa berteman. Dan, ya, memang saat dewasa mereka bertemu dan berteman.
Permainan Gongka dan teman-temannya di gang sama dengan yang aku mainkan semasa kecil dulu. Jika Gongka menyebutnya taplak gunung, aku menyebutnya 'engklek'. Seru sekali!
Di masa dewasa kini, rasa-rasanya membaca kisah masa kecil adalah obat di tengah keriuhan dan keruwetan yang sedang dijalani. Bacalah Gongka saat senggang. Niscaya kamu akan bernostalgia.
Terdapat dua perasaan setelah selesai membaca Gongka, hangat dan lapar. Kenangan masa kecil, ketika banyak hal sederhana jadi perkara yang menyenangkan hati, adalah waktu yang bisa memeluk diri dengan hangat. Ditambah cerita mengenai makanan yg menemani keseharian Gongka, oh itu jelas membuat gue menelan ludah sepanjang menyelesaikan bukunya. Ilustrasi dan resep yang diselipkan membuat sajian yang diceritakan semakin terpampang nyata dan ingin sekali mencoba untuk direka ulang. Satu lagi, Gongka dan Na Willa jelas akan menjadi teman baik.
Buku ini mengingatkan kalau saya sejatinya adalah cici-cici, yang lebih kenal topo dari serbet, selampek daripada saputangan. Buku ini membuat saya yakin bahwa saya bisa bahagia sebagai cici-cici apa adanya
Mungkin satu hal yang dirasa kurang adalah karena Fransisca ini murid Reda, jadi tulisannya jadi terasa ga ada bedanya dengan tulisan Reda. Jadi terasa kurang berkarakter. Semoga dengan terus menerus menulis, Fransisca akan menemukan karakternya sendiri
Cerita sederhana yang hangat dan menyenangkan. Ringan sekali, sehingga bisa dibaca sekali duduk. Sayangnya tidak terlalu relatable untukku. Namun, setidaknya aku jadi punya wawasan baru soal lingkungan Pecinan dan tradisi etnis Cina. Beberapa makanan terlihat enak di cerita, sayangnya tidak semuanya diilustrasikan. Jadi bolak-balik lihat google deh xixixi
Gongka kecil yang lucuuu, terima kasih sudah mengobati rinduku dengan Na Willa. Cerita-cerita kamu kocak dan menghibur sekali. Senang bisa berkenalan dengan kamu ♡