Ki Aria Martaningrat: Perbedaan antara revisi
Tag: Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler Suntingan seluler lanjutan |
→Kasus pembunuhan Citra Guna: Memberikan referensi soal keterwakilan dalam pengadilan Tag: Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler Suntingan seluler lanjutan |
||
Baris 25: | Baris 25: | ||
Pada tahun 1696 ''Ki Aria'' Martaningrat dituntut telah membunuh Citra Guna seorang warga Cirebon yang berada dibawah kuasa Sultan Sepuh. Perkara yang dituntut kepada ''Ki Aria'' Martaningrat masuk dalam perkara ''Padu'' yang berada dibawah wewenang ''[[Jaksa Pepitu]]'', berdasarkan hukum yang berlaku di Cirebon pada masa itu, perkara pembunuhan biasa (yang masuk dalam kategori ''Padu'') dapat diselesaikan dengan membayar ''Patuk Sawa'' (uang pengganti nyawa) sebesar 33 ''real''<ref name=mason/>. |
Pada tahun 1696 ''Ki Aria'' Martaningrat dituntut telah membunuh Citra Guna seorang warga Cirebon yang berada dibawah kuasa Sultan Sepuh. Perkara yang dituntut kepada ''Ki Aria'' Martaningrat masuk dalam perkara ''Padu'' yang berada dibawah wewenang ''[[Jaksa Pepitu]]'', berdasarkan hukum yang berlaku di Cirebon pada masa itu, perkara pembunuhan biasa (yang masuk dalam kategori ''Padu'') dapat diselesaikan dengan membayar ''Patuk Sawa'' (uang pengganti nyawa) sebesar 33 ''real''<ref name=mason/>. |
||
== Kasus perkara ''Raja Wisuna'' == |
|||
Pada tahun 1696 ''Ki Aria'' Martaningrat dituntut telah membuat sebuah kondisi dimana para penguasa Cirebon menjadi tidak harmonis (dalam [[bahasa Cirebon]] hal ini disebut ''Raja Wisuna'')<ref name=mason/>. |
|||
Awal terjadinya tuntutan ''Raja Wisuna'' terhadap beliau dimulai dari sebuah ikatan pernikahan antara putra dari Sultan Anom Badruddin (dimana ''Ki Aria'' Martaningrat adalah ketua menterinya) dengan putri dari Gusti Panembahan Nasiruddin, ''Ki Aria'' Martaningrat kemudian dituduh telah memainkan intrik istana guna menggoyang kestabilan kuasa diantara tiga penguasa Cirebon<ref name=masonperanakan/>. |
|||
Pada masa tersebut sebelum Pangeran Adiwijaya (putra kedua Sultan Sepuh Martawijaya) diangkat menjadi salah satu penguasa Cirebon dengan gelar ''Pangeran Aria'' Cirebon, Sultan Sepuh diwakili oleh tiga orang jaksa dalam institusi ''[[Jaksa Pepitu]]''<ref name=suparman1>Suparman, Sulasman, Dadan Firdaus. 2017. Tawarikh : Political Dynamics in Cirebon from the 17th to 19th Century. [[Bandung]] : Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Gunung Jati</ref>, sementara Sultan Anom dan Gusti Panembahan diwakili masing-masing oleh dua orang jaksa<ref name=viswandro>Viswandro, Maria Matilda, Bayu Saputra. 2018. Mengenal Profesi Penegak Hukum. Bantul : Media Presindo</ref>. |
|||
==Referensi== |
==Referensi== |
Revisi per 26 Januari 2023 07.09
Ki Aria Martaningrat adalah seorang ketua menteri Kesultanan Kanoman keturunan Cina, gelar Ki Aria merupakan gelar yang diberikan kepada ketua menteri dari Kesultanan Kanoman.[1]
Penunjukan sebagai Ki Aria
Sultan Anom Badruddin pertama kali menunjuknya sebagai ketua menteri Kesultanan Kanoman pada bulan Juli 1689,[1] sebelum menjadi ketua menteri bagi kesultanan Kanoman beliau merupakan seorang pedagang.[1] Pada tahun 1691 ketika Sultan Anom Badruddin diperiksa di Batavia dalam kaitannya dengan bajak laut asal Banten dan Bali, Ki Aria berusaha untuk mewakilinya dalam menjalankan pemerintahan[1] di Cirebon.
Kasus penyelundupan lada
Pada tahun 1691 beliau dituntut karena diduga terlibat dalam usaha penyelundupan lada.[1] Pada masa itu sesuai dengan perjanjian Cirebon - Belanda 7 Januari 1681, Belanda berhak atas monopoli komoditas dari Cirebon,[2] termasuk diantaranya Lada[3] dan tindakan yang dilakukan oleh Ki Aria Martaningrat disebut-sebut sebagai langkah untuk menghalang-halangi usaha monopoli dagang Belanda (dalam hal ini Vereenigde Oostindische Compagnie).[4]
Pada tahun 1695 pejabat penghubung Belanda di Cirebon Christiaan Krijger mengajukan keluhan atas aktifitas beliau yang Belanda anggap sebagai bagian dari tindakan penyelundupan lada, namun Christiaan Krijger gagal untuk menunjukkan barang bukti yang memadai untuk menjadi dasar bagi intervensi Vereenigde Oostindische Compagnie dalam kasus tersebut, pejabat penghubung Belanda tersebut juga gagal untuk meyakinkan pemerintahan Cirebon bahwa tindakan yang dilakukan oleh Ki Aria Martaningrat merupakan tindakan kriminal.[5]
Kasus dengan Wangsa Teruna
Pada tahun 1691, Ki Aria Martaningrat terlibat sebuah perselisihan dengan Wangsa Teruna yang merupakan warga Cirebon keturunan Cina yang bekerja sebagai penterjemah bagi pejabat penghubung Belanda Christiaan Krijger.[1]
Pada tahun 1696, Ki Aria Martaningrat dituntut atas kasus percobaan pembunuhan terhadap Wangsa Teruna yang pada saat itu masih bekerja sebagai penterjemah pejabat penghubung Belanda di Cirebon.[5] Pada persidangan yang digelar dibawah wewenang Jaksa Pepitu perkara percobaan pembunuhan tersebut disidangkan dalam perkara padu (seperti kejahatan atas pembunuhan atau pembantaian) sehingga kasus percobaan pembunuhan dianggap bukanlah sebuah perkara yang serius bagi pengadilan sehingga dapat dijatuhi hukuman, pada pembelaannya Sultan Anom berpendapat dalam hukum yang berlaku di Cirebon bahwa percobaan pembunuhan adalah sebuah tindakan pembunuhan yang belum dilakukan sementara dalam perkara padu kasus yang dianggap sebuah kejahatan adalah pembunuhannya.[5]
Persidangan tersebut tidak menghasilkan sebuah hukuman dikarenakan hal yang dilakukan oleh Ki Aria Martaningrat bukanlah sebuah pelanggaran yang dapat dihukum.[5]
Pada masa kemudian Wangsa Teruna bekerja sebagai administrator armada penangkap ikan milik keluarga Sultan Sepuh yang berbasis di desa Singaraja dan diberi gelar ngabei Marta Mangala.[1]
Kasus pembunuhan Citra Guna
Pada tahun 1696 Ki Aria Martaningrat dituntut telah membunuh Citra Guna seorang warga Cirebon yang berada dibawah kuasa Sultan Sepuh. Perkara yang dituntut kepada Ki Aria Martaningrat masuk dalam perkara Padu yang berada dibawah wewenang Jaksa Pepitu, berdasarkan hukum yang berlaku di Cirebon pada masa itu, perkara pembunuhan biasa (yang masuk dalam kategori Padu) dapat diselesaikan dengan membayar Patuk Sawa (uang pengganti nyawa) sebesar 33 real[5].
Kasus perkara Raja Wisuna
Pada tahun 1696 Ki Aria Martaningrat dituntut telah membuat sebuah kondisi dimana para penguasa Cirebon menjadi tidak harmonis (dalam bahasa Cirebon hal ini disebut Raja Wisuna)[5].
Awal terjadinya tuntutan Raja Wisuna terhadap beliau dimulai dari sebuah ikatan pernikahan antara putra dari Sultan Anom Badruddin (dimana Ki Aria Martaningrat adalah ketua menterinya) dengan putri dari Gusti Panembahan Nasiruddin, Ki Aria Martaningrat kemudian dituduh telah memainkan intrik istana guna menggoyang kestabilan kuasa diantara tiga penguasa Cirebon[1].
Pada masa tersebut sebelum Pangeran Adiwijaya (putra kedua Sultan Sepuh Martawijaya) diangkat menjadi salah satu penguasa Cirebon dengan gelar Pangeran Aria Cirebon, Sultan Sepuh diwakili oleh tiga orang jaksa dalam institusi Jaksa Pepitu[6], sementara Sultan Anom dan Gusti Panembahan diwakili masing-masing oleh dua orang jaksa[7].
Referensi
- ^ a b c d e f g h Hoadley, Mason. 1988. Javanese, Peranakan, and Chinese Elites in Cirebon: Changing Ethnic Boundaries Ann Arbor : Journal of Asian Studies
- ^ Chambert-Loir, Henri. Hasan Muarif Ambary. 1999. Panggung sejarah: persembahan kepada Prof. Dr. Denys Lombard. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia
- ^ Tim Direktorat Jenderal Kebudayaan. 1982. Sejarah Daerah Jawa Barat. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
- ^ Tarupay, Heri Kusuma. 2020. Gagaklodra Makassar Detektif Nasionalisme Njoo Cheong Seng. Sleman : Sanata Dharma University Press
- ^ a b c d e f Hoadley, Mason Claude. 2018. Selective Judicial Competence: The Cirebon-Priangan Legal Administration, 1680–1792. New York : Cornell University Press
- ^ Suparman, Sulasman, Dadan Firdaus. 2017. Tawarikh : Political Dynamics in Cirebon from the 17th to 19th Century. Bandung : Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Gunung Jati
- ^ Viswandro, Maria Matilda, Bayu Saputra. 2018. Mengenal Profesi Penegak Hukum. Bantul : Media Presindo